rl Bock Berjumpa dengan Suku Dayak Pemakan Manusia!
Sang penjelajah asal Norwegia itu terpukau—sekaligus ngeri—melihat penampilan salah satu suku Dayak bertradisi kanibalisme. Bagaimanakah kisah perjumpaan dua peradaban itu?

“Perjalanan
dari Kotta Bangoen ke permukiman Tring memakan waktu empat hari,”
ungkap Carl Alfred Bock. Dia berharap di Moeara Pahou dapat menjumpai suku Dayak Tring, cabang keluarga suku Bahou. Lantaran sampai tiga hari tak berjumpa seorang pun, dia berencana memasuki kampung mereka.
“Namun, Sultan dan pengikutnya berkata bahwa perjalanan menuju ke sana sangat tidak aman,” ungkap Bock. “Suku itu kanibal, dibenci, juga ditakuti oleh tetangga suku mereka." Sultan Aji Muhammad Sulaiman khawatir, suku Dayak akan menduga bahwa rombongannya bersiap menyerang mereka.
“Saya harus melihat mereka karena mendengar kisah bahwa mereka keji dan kanibal. Pemerintah kolonial berharap saya dapat memberikan laporan tentang kebiadaban itu,” pinta Bock. “Dan, saya pasti disalahkan kalau tidak menyaksikan mereka.”
Pendeta
perempuan dari Dayak Tring yang menunjukkan rajah di sekujur pahanya.
Telinganya memanjang karena berbandul logam. Litografi ini berdasar
karya lukis Carl Bock antara 1879-1880. Perempuan ini berkata kepada
Bock bahwa selain telapak tangan, otak dan daging lutut merupakan
hidangan terlezat bagi sukunya. (Wikimedia Commons/Tropenmuseum)
Akhirnya Sultan meluluskan permintaan Bock dengan mengirimkan sebuah perahu dengan seseorang yang akan meminta suku Dayak Tring untuk menampakkan diri. Namun, seminggu berlalu tidak ada kabar. Anehnya lagi, perahu itu tak kunjung kembali. “Apakah mereka telah terbunuh dam dimakan?” demikian keresahan Bock.
Sultan turut gusar. Kemudian dia mengirimkan perahu besar yang dipimpin seorang Kapitan Bugis. Mujurnya, tiga hari kemudian perahu kembali bersama sekitar 40-an warga Dayak Tring, termasuk empat perempuan.
“Seorang pendeta perempuan mempersilakan saya untuk mengambil gambar sosoknya,” ungkap Bock. “Hal yang paling menakjubkan adalah lubang telinganya panjang berbandul cincin logam [...] Selanjutnya, ketiadaan alis.” Perempuan itu mengizinkan Bock untuk mengamati secara detail bagian tubuhnya.
Litograf
berdasar karya Carl Bock 1879-1880 dalam "The Head Hunters of Borneo".
Gambar 1: "Woon", Dayak Punan yang berkulit gelap asal Kenyah, sisi
utara dari Long Wahou. Gambar 2 dan 3: Trofi tengkorak yang diberikan
oleh Sibau Mobang yang kanibal kepada Carl Bock. Gambar 3: Topeng yang
digunakan dalam tarian perang dalam tradisi Dayak. (Wikimedia
Commons/Tropenmuseum)
“Kembangan tato di bagian paha
juga menjadi hal yang menarik,” ungkapnya. “Rambut mereka yang pendek
menjadi pembeda dengan para perempuan suku-suku lainnya; dan warna kulit
mereka yang lebih cerah ketimbang suku-suka Dayak lainnya, kecuali
orang-orang Punan."
Sambil mengulurkan kedua tangannya, pendeta perempuan tadi berkata kepada Bock bahwa telapak tangan merupakan bagian terbaik untuk dimakan. Dia juga menunjuk lutut dan dahi, sambil berkata dengan bahasa Melayu"bai, bai" (baik) demikian menurut Bock. “Menunjukkan bahwa otak dan daging lutut merupakan hidangan lezat bagi sukunya.”
Kemudian seorang kepala suku Dayak kanibal menyambangi tempat menginap Bock. Namanya, Sibau Mobang. Dia datang bersama pendampingnya—seorang perempuan dan dua lelaki.
“Saat dia memasuki rumah panggung saya,” demikian tulis Bock. “Dia berdiri beberapa saat, tanpa bergerak atau pun berkata, memandangi saya dengan tatapan dalam sementara saya sedang berpura-pura tidak mengamatinya. Lalu, dia duduk dengan pelan sekitar dua meter dari kaki saya.”
Tampaknya Sibau berusia sekitar 50-an tahun, demikian menurut Bock, ompong dan kempot, kulitnya coklat kekuningan, dan agaknya sakit-sakitan. Sejumput rambut kaku menghias kumis dan dagunya. Kupingnya menjuntai dan ditindik dengan lubang besar. Semua penampilan lelaki itu kian menambah kesan angker tentang dirinya.
“Matanya mengekspresikan tatapan mata binatang buas,” ungkap Bock yang mencoba melukiskan sosok lelaki itu, “dan di sekitar matanya tampak garis-garis gelap, seperti bayang-bayang kejahatan.”
Namun, “lengan kanannya, yang berhias gelang logam, kondisinya lumpuh,” ungkap Bock. “Untuk alasan itulah dia menempatkan senjata mandaunya di sisi kanan, dan selama beberapa tahun telah banyak korban dijatuhkan oleh bedebah yang haus darah ini dengan tebasan tangan kirinya.”
Sibau berkata kepada Bock bahwa sukunya tidak makan orang setiap hari. Mereka makan daging dari berbagai satwa, nasi, dan buah-buahan liar. Namun, ujar sang kepala suku, sudah setahun ini mereka tidak makan nasi karena kegagalan panen.
Bock yang saat itu tengah melukis Sibau, kemudian buru-buru menyajikan seketel nasi yang baru saja masak kepada mereka. Lalu, dengan taburan garam, mereka menyantap nasi pulen itu.
Sosok
lelaki Dayak Tring dalam tarian ritual, membawa mandau (pedang) dan
kliau (perisai). Perisai itu terbuat dari kayu dengan ukiran dan berhias
rambut-rambut manusia yang menjadi korbannya. Litografi berdasar karya
lukis Carl Bock antara 1879 dan 1880 dalam "The Head Hunters of
Borneo". Perisai inilah yang dihadiahkan sebagai kenang-kenangan oleh
Sibau Mobang, seorang kanibal dari Dayak Tring, kepada Bock. (Wikimedia
Commons/Tropenmuseum)
Sebagai kenang-kenangan, Bock
memberikan bingkisan berupa uang dua dolar tiap orang yang telah
dilukisnya. Selain itu rombongan Dayak kanibal mendapat sepikul beras,
untaian tasbih manik-manik, kain blacu yang panjangnya sekitar 22 meter
untuk dibagi bersama.
Sementara, Kepala Suku Sibau memberikan kenang-kenangan yang membuat merinding bagi penerimanya. Bock mendapatkan dua tengkorak—lelaki dan perempuan tanpa rahang bawah—trofi dari pesiar berburu kepala. Semuanya dibungkus daun pisang.
Carl Alfred Bock merupakan naturalis dan pelancong berkebangsaan Norwegia. Bock melakukan perjalanan ke pedalaman Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan pada 1879. Ketika itu usianya masih 30 tahun.
Kisah penjelajahannya dibukukan dalam The Head Hunters of Borneo yang terbit pada 1881. Buku itu berhias 37 litografi dan ilustrasi, umumnya tentang orang dan budaya Dayak.
Sibau juga memberikan kepada Bock sebuah perisai kayu yang dicat dengan pola warna semarak. “Perisai itu dipercaya sebagai harta istimewa,” ungkap Bock, “berhiaskan helai-helai rambut yang diambil dari korban manusia.”
“Namun, Sultan dan pengikutnya berkata bahwa perjalanan menuju ke sana sangat tidak aman,” ungkap Bock. “Suku itu kanibal, dibenci, juga ditakuti oleh tetangga suku mereka." Sultan Aji Muhammad Sulaiman khawatir, suku Dayak akan menduga bahwa rombongannya bersiap menyerang mereka.
“Saya harus melihat mereka karena mendengar kisah bahwa mereka keji dan kanibal. Pemerintah kolonial berharap saya dapat memberikan laporan tentang kebiadaban itu,” pinta Bock. “Dan, saya pasti disalahkan kalau tidak menyaksikan mereka.”

Akhirnya Sultan meluluskan permintaan Bock dengan mengirimkan sebuah perahu dengan seseorang yang akan meminta suku Dayak Tring untuk menampakkan diri. Namun, seminggu berlalu tidak ada kabar. Anehnya lagi, perahu itu tak kunjung kembali. “Apakah mereka telah terbunuh dam dimakan?” demikian keresahan Bock.
Sultan turut gusar. Kemudian dia mengirimkan perahu besar yang dipimpin seorang Kapitan Bugis. Mujurnya, tiga hari kemudian perahu kembali bersama sekitar 40-an warga Dayak Tring, termasuk empat perempuan.
“Seorang pendeta perempuan mempersilakan saya untuk mengambil gambar sosoknya,” ungkap Bock. “Hal yang paling menakjubkan adalah lubang telinganya panjang berbandul cincin logam [...] Selanjutnya, ketiadaan alis.” Perempuan itu mengizinkan Bock untuk mengamati secara detail bagian tubuhnya.

Sambil mengulurkan kedua tangannya, pendeta perempuan tadi berkata kepada Bock bahwa telapak tangan merupakan bagian terbaik untuk dimakan. Dia juga menunjuk lutut dan dahi, sambil berkata dengan bahasa Melayu"bai, bai" (baik) demikian menurut Bock. “Menunjukkan bahwa otak dan daging lutut merupakan hidangan lezat bagi sukunya.”
Kemudian seorang kepala suku Dayak kanibal menyambangi tempat menginap Bock. Namanya, Sibau Mobang. Dia datang bersama pendampingnya—seorang perempuan dan dua lelaki.
“Saat dia memasuki rumah panggung saya,” demikian tulis Bock. “Dia berdiri beberapa saat, tanpa bergerak atau pun berkata, memandangi saya dengan tatapan dalam sementara saya sedang berpura-pura tidak mengamatinya. Lalu, dia duduk dengan pelan sekitar dua meter dari kaki saya.”
Tampaknya Sibau berusia sekitar 50-an tahun, demikian menurut Bock, ompong dan kempot, kulitnya coklat kekuningan, dan agaknya sakit-sakitan. Sejumput rambut kaku menghias kumis dan dagunya. Kupingnya menjuntai dan ditindik dengan lubang besar. Semua penampilan lelaki itu kian menambah kesan angker tentang dirinya.
“Matanya mengekspresikan tatapan mata binatang buas,” ungkap Bock yang mencoba melukiskan sosok lelaki itu, “dan di sekitar matanya tampak garis-garis gelap, seperti bayang-bayang kejahatan.”
Namun, “lengan kanannya, yang berhias gelang logam, kondisinya lumpuh,” ungkap Bock. “Untuk alasan itulah dia menempatkan senjata mandaunya di sisi kanan, dan selama beberapa tahun telah banyak korban dijatuhkan oleh bedebah yang haus darah ini dengan tebasan tangan kirinya.”
Sibau berkata kepada Bock bahwa sukunya tidak makan orang setiap hari. Mereka makan daging dari berbagai satwa, nasi, dan buah-buahan liar. Namun, ujar sang kepala suku, sudah setahun ini mereka tidak makan nasi karena kegagalan panen.
Bock yang saat itu tengah melukis Sibau, kemudian buru-buru menyajikan seketel nasi yang baru saja masak kepada mereka. Lalu, dengan taburan garam, mereka menyantap nasi pulen itu.

Sementara, Kepala Suku Sibau memberikan kenang-kenangan yang membuat merinding bagi penerimanya. Bock mendapatkan dua tengkorak—lelaki dan perempuan tanpa rahang bawah—trofi dari pesiar berburu kepala. Semuanya dibungkus daun pisang.
Carl Alfred Bock merupakan naturalis dan pelancong berkebangsaan Norwegia. Bock melakukan perjalanan ke pedalaman Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan pada 1879. Ketika itu usianya masih 30 tahun.
Kisah penjelajahannya dibukukan dalam The Head Hunters of Borneo yang terbit pada 1881. Buku itu berhias 37 litografi dan ilustrasi, umumnya tentang orang dan budaya Dayak.
Sibau juga memberikan kepada Bock sebuah perisai kayu yang dicat dengan pola warna semarak. “Perisai itu dipercaya sebagai harta istimewa,” ungkap Bock, “berhiaskan helai-helai rambut yang diambil dari korban manusia.”
(Mahandis Y. Thamrin/NGI)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar